Selama lebih dari satu dekade terakhir, berbagai praktisi, peneliti, dan pemerhati pendidikan bahasa mengamati merosotnya minat belajar bahasa Indonesia di Australia.
Laporan tahun 2010 dari tim peneliti bahasa dan linguistik terapan Australia menyatakan bahwa sejak 2001, jumlah pelajar yang mengambil mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Australia berkurang setidaknya 10.000 setiap tahunnya.
Dalam studi independen terbarunya pada 2021, misalnya, Michelle Kohler dari University of South Australia mencatat penurunan pengambilan kelas bahasa Indonesia terjadi seiring naiknya jenjang pendidikan dasar dan menengah – dari sekitar 14.000 di akhir tingkat SD menjadi hanya sekitar 350 di akhir SMA.
Sementara di tingkat perguruan tinggi, jumlah pendaftar kelas bahasa Indonesia pada 2019 turun 63% dari puncaknya pada 1992.
Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, banyak universitas seperti La Trobe University, Western Sydney University, dan University of New South Wales menutup program kelas bahasa Indonesia mereka. University of Melbourne memperkirakan pada 2020, hanya ada 12 universitas di Australia yang membuka program kelas bahasa Indonesia – turun dari 22 universitas pada 1992.
Beberapa peneliti khawatir tren penutupan program bahasa Indonesia di perguruan tinggi Australia ini akan melemahkan hubungan bilateral antara kedua negara.
Yang menarik, keprihatinan tersebut lebih banyak muncul dari pihak-pihak di Australia dan bukan oleh Indonesia – si empunya bahasa tersebut. Kajian-kajian tentang topik ini semuanya ditulis orang Australia, dengan rekomendasi langkah-langkah bagi pemerintah Australia untuk mempertahankan minat pembelajaran bahasa Indonesia di negara mereka.
Tampaknya, Indonesia belum banyak mengambil langkah untuk menghidupkan kembali minat belajar bahasa Indonesia di negeri Kangguru. Padahal, bukan hanya Australia, Indonesia pun akan mendapat banyak manfaat seperti meningkatkan relasi dan citra positif Indonesia di Australia.
Mengapa minat belajar bahasa Indonesia di Australia terus menurun
Ada beberapa alasan yang memotivasi seseorang belajar bahasa asing. Faktanya, preferensi terhadap suatu bahasa bisa jadi tidak ada hubungannya dengan seberapa menarik atau “seksi” bunyi dari bahasa itu sendiri.
Ahli sosiolinguistik seperti Vineeta Chand dari University of Essex, Inggris, berargumen bahwa ketertarikan terhadap suatu bahasa lebih ditentukan oleh faktor eksternal seperti pandangan positif terhadap para penutur bahasa tersebut ataupun budaya mereka. Hal tersebut biasanya terhubung dengan prestise atau reputasi penutur bahasa, serta keuntungan ekonomi dan mobilitas sosial yang ditawarkan oleh penguasaan bahasa tersebut.
Dalam konteks Australia, ada beberapa alasan mengapa pendidikan bahasa Indonesia penting.
Indonesia adalah salah satu negara tetangga terpenting dan kunci untuk kemakmuran dan keamanan Australia. Alasan lainnya adalah aksesibilitas dan struktur bahasa yang tidak terlalu rumit untuk standar bahasa asing, serta manfaat personal seperti pemahaman dan literasi lintas budaya antara Australia dan Indonesia.
Namun, minat pendidikan bahasa Indonesia di Australia termasuk rentan terhadap faktor-faktor eksternal.
Bahasa Indonesia Tidak Diminati
Dari segi ekonomi, misalnya, banyak yang beranggapan bahwa Indonesia adalah negara “miskin”. Padahal, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara yang terus berkembang, Indonesia diprediksikan akan menjadi negara dengan ekonomi ketujuh terbesar pada 2030.
Dari segi budaya, Indonesia dikenal dengan identitas agama yang kuat, yang sayangnya diperburuk oleh peristiwa bom di Bali pada awal 2000-an dan di Jakarta beberapa tahun silam. Tidak banyak orang Australia yang tahu bahwa realitanya, Indonesia adalah negara yang relatif toleran dan multikultural dengan dominasi pemeluk agama Islam yang relatif moderat.
Bahkan, beberapa orang Australia mengatakan kepada saya bahwa mereka resah akan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan Indonesia pada Desember 2022 karena dianggap menerobos ranah privat dan bersifat antidemokrasi. Di mata orang Australia, ini semakin melukai citra Indonesia sekaligus mengurangi minat mereka untuk mempelajari bahasa Indonesia.
Berbagai peristiwa politik lainnya selama beberapa dekade ke belakang – dari kekerasan yang mewarnai pemisahan Timor Timur dari Indonesia pada 1997 hingga gelombang pencari suaka (asylum seekers) yang menjadikan Indonesia batu loncatan ke Australia – turut memperkeruh citra tersebut.
Tesis S3 tahun 2007 milik Yvette Slaughter dari University of Melbourne mengungkap bahwa turunnya pembelajaran bahasa Indonesia di Australia secara berkelanjutan merupakan contoh “ekstrem” akan dampak dari peristiwa-peristiwa politik terhadap minat belajar bahasa asing.
Yang bisa dilakukan Indonesia
Artikel-artikel yang saya temui tentang topik ini semuanya ditulis orang Australia. Mereka membahas apa yang Australia dan pemerintah pusatnya bisa lakukan.
Sementara, orang-orang Indonesia masih perlu menunjukkan kepedulian dan perhatian yang lebih besar akan isu ini. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra pernah membuat laporan beberapa tahun lalu tentang isu ini – namun laporan tersebut tidak pernah dipublikasikan ke publik sehingga sulit untuk ditindaklanjuti.
Sudah sepatutnya isu ini mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan. Ini termasuk pemerintah Indonesia yang bisa berkoordinasi dengan kementerian-kementerian terkait, KBRI di Canberra, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Australia serta ranting-ranting komunitas Indonesia seperti Australia Indonesia Association (AIA), Australia Indonesia Youth Association (AIYA), dan Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) di setiap negara bagian dan universitas di Australia.
Balai Bahasa Indonesia di Australia
Memang, KJRI sudah menginisiasi jaringan Balai Bahasa Indonesia di negeri Kangguru, seperti lewat peluncuran situs Balai Bahasa dan Budaya Indonesia New South Wales. Namun, menurut obrolan pribadi saya dengan Michelle Kohler, peneliti bahasa Indonesia yang juga merupakan kolega saya di University of South Australia, bantuan tersebut masih minim.
Misalnya, program-program promosi bahasa tersebut masih terlihat sebagai formalitas dan belum berbasis perencanaan strategis. Ini sangat timpang jika dibandingkan dengan yang dilakukan Alliance Française dalam mempromosikan pendidikan bahasa Prancis di Australia lewat lima pilar strateginya – termasuk meningkatkan kesadaran generasi muda dan memperkuat daya tarik budaya Prancis.
Diaspora Indonesia di Australia pun bisa bertindak lebih proaktif tanpa instruksi dari pusat. Menurut pengamatan Kohler, komunitas Indonesia di Australia bisa mengambil contoh dari yang dilakukan komunitas diaspora Yunani, Turki, dan Vietnam di Australia yang jauh lebih proaktif mempromosikan pendidikan bahasa melalui berbagai acara dan program pengenalan budaya.
Hal besar lain yang dapat dilakukan adalah kolaborasi antara Indonesia dan Australia di bidang produksi seni seperti fiksi, TV, dan film sehingga memperkenalkan lebih dekat karakter serta pandangan budaya Indonesia ke anak-anak muda disana. Harapannya, ini bisa menangkal stereotip yang tidak tepat terhadap budaya dan masyarakat Indonesia dan membantu meningkatkan minat mereka untuk belajar bahasa Indonesia.
Indonesia seharusnya merasa bangga negara lain seperti Australia memberikan perhatian besar terhadap pendidikan bahasa Indonesia di negara mereka – dan malu bahwa mereka belum menunjukkan kepedulian sebesar itu.
Jangan sampai Indonesia kalang kabut jika nanti bahasanya diklaim oleh negara lain yang lebih peduli terhadap keberlangsungan pendidikan bahasa Indonesia di negara mereka.