Dalam dinamika diplomasi dan hubungan internasional modern, pemerintah pusat bukan lagi satu-satunya pihak yang memegang kendali. Aktor-aktor subnasional, seperti pemerintah daerah atau daerah otonomi khusus, juga memiliki kepentingan dan peran yang mampu memengaruhi arah hubungan internasional, terutama dalam membangun kerja sama global.
Contoh nyata dari praktik ini terlihat ketika Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, memutuskan keluar dari Perjanjian Paris tentang perubahan iklim pada tahun 2017. Sebagai respons, 12 gubernur negara bagian membentuk Aliansi Iklim yang menolak keputusan tersebut. Lebih dari 400 wali kota, termasuk dari sepuluh kota terbesar di AS, memilih untuk tetap mendukung Perjanjian Paris dan bahkan berkomitmen lebih kuat, misalnya dengan menambah investasi dalam pengadaan transportasi ramah lingkungan.
Di Indonesia, kerja sama yang dibangun pemerintah daerah dengan mitra internasional juga terbukti sangat membantu, terutama dalam memenuhi kebutuhan alat kesehatan dan vaksin saat pandemi COVID-19 melanda.
Pendekatan ini dikenal sebagai “paradiplomasi,” di mana pemerintah daerah terlibat dalam upaya diplomasi guna mendukung kepentingan nasional.
Apa Itu Paradiplomasi?
Istilah paradiplomasi pertama kali diperkenalkan oleh Ivo Duchacek, seorang profesor politik internasional dari City University of New York, Amerika Serikat, pada tahun 1984. Paradiplomasi diartikan sebagai “parallel diplomacy” atau diplomasi sejajar, yaitu aktivitas internasional yang dilakukan oleh aktor-aktor subnasional untuk mendukung, melengkapi, mengoreksi, atau bahkan menduplikasi diplomasi yang dijalankan oleh negara.
Paradiplomasi muncul sebagai respons atas berbagai isu global yang langsung berdampak pada kehidupan masyarakat di daerah. Isu-isu seperti perubahan iklim yang mengancam lingkungan, kemiskinan kota akibat rendahnya kualitas pendidikan, serta hambatan pembangunan berkelanjutan menjadi beberapa contoh dari permasalahan yang sering kali dihadapi oleh pemerintah daerah. Paradiplomasi memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk berperan langsung dalam menangani persoalan-persoalan tersebut.
Bentuk-Bentuk Paradiplomasi
Paradiplomasi dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kerja sama. Salah satu bentuk yang umum dilakukan adalah perjanjian seremonial seperti “sister city,” di mana dua kota dari negara berbeda menjalin hubungan untuk mempererat kolaborasi budaya dan ekonomi. Sebagai contoh, kerja sama antara Yogyakarta dan Tokyo dalam program sister city pada tahun 2015-2018 berhasil meningkatkan jumlah wisatawan di kedua daerah serta memperkuat ekowisata melalui pertukaran pengetahuan mengenai manajemen risiko bencana.
Saat ini, tercatat sebanyak 47 kota di Indonesia dari 33 provinsi yang pernah atau masih memiliki hubungan sister city dengan kota-kota dari berbagai negara. Meski demikian, penelitian tahun 2023 menemukan bahwa program ini sering kali mengalami kendala dalam pelaksanaannya di Indonesia. Antara lain akibat minimnya komunikasi, keterbatasan kapasitas sumber daya manusia pemerintah daerah, serta rendahnya partisipasi masyarakat lokal.
Selain bentuk kerja sama seremonial, paradiplomasi juga dapat dilakukan melalui kolaborasi yang lebih nyata dan bersifat mengikat. Dengan maksud untuk meningkatkan kerja sama ekonomi lintas batas. Contoh kolaborasi ini terlihat pada hubungan yang dibangun oleh negara bagian New York di AS dengan Quebec di Kanada. Atau kerja sama antara Kalimantan Barat di Indonesia dengan Sarawak di Malaysia.
Pemerintah Daerah sebagai Aktor Hubungan Internasional
Di Indonesia, paradiplomasi lahir sebagai bagian dari otonomi daerah yang memberikan wewenang bagi pemerintah daerah untuk terlibat dalam hubungan internasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) RI Nomor 3 Tahun 2019, prinsip hubungan luar negeri yang dilakukan pemerintah daerah harus tetap mengedepankan kepentingan nasional dengan berpegang pada prinsip bebas-aktif, serta berkonsultasi dengan kementerian terkait guna memperoleh pertimbangan hukum dan politis.
Namun, penting untuk dipahami bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kedaulatan penuh seperti pemerintah pusat. Batas yurisdiksi yang terbatas secara lokal, posisi hierarki yang berada di bawah pemerintah pusat, serta tanggung jawab terhadap pembangunan lokal yang menjadi prioritas membuat pemerintah daerah hanya dapat berperan dalam diplomasi yang sesuai dengan kapasitasnya. Fungsi diplomasi yang bisa mereka kelola di tingkat lokal meliputi diplomasi ekonomi, budaya, dan pengetahuan.
Pembelajaran dari Negara Lain
Tiongkok merupakan salah satu negara yang pemerintah daerahnya aktif menjalankan paradiplomasi untuk menarik investasi asing. Beberapa provinsi, seperti Guangxi, Jiangsu, dan Heilongjiang, telah mendirikan perusahaan yang disebut International Economic and Technological Cooperation Corporations (IETCCs). Tujuannya adalah untuk mengundang investasi dalam bidang konstruksi dan pengembangan ekonomi.
India juga menjalankan paradiplomasi dengan mengarahkan pemerintah daerah untuk mencari investasi asing langsung. Juga menyelenggarakan pameran dagang, serta menjamu pejabat luar negeri yang berkunjung ke negara tersebut. Di Polandia, sekitar 70% entitas pemerintah daerah memiliki mitra asing untuk menjalankan diplomasi budaya dan pengetahuan.
Membangun Paradiplomasi yang Efektif
Agar pemerintah daerah dapat berperan sebagai aktor diplomasi yang efektif dalam mencapai kepentingan nasional, terdapat tiga aspek utama yang perlu diperhatikan oleh pemerintah pusat:
1. Kelembagaan
Untuk meningkatkan efektivitas paradiplomasi, perlu adanya lembaga khusus yang mengelola diplomasi subnasional sehingga koordinasi dengan pemerintah daerah menjadi lebih terarah. Di Indonesia, alur kerja sama internasional saat ini memerlukan waktu yang cukup lama. Sehingga hanya sedikit pemerintah daerah yang berminat untuk memulai inisiatif paradiplomasi.
2. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Terbatasnya kapasitas SDM menjadi tantangan dalam pelaksanaan paradiplomasi. Maka, pemerintah daerah memerlukan program pendidikan dan pelatihan khusus dalam pengelolaan kerja sama internasional. Dengan begitu, pemerintah daerah dapat merencanakan strategi paradiplomasi secara efektif serta menetapkan tujuan dan proses yang jelas untuk mencapainya.
3. Konektivitas
Pemanfaatan platform digital dapat memperkuat komunikasi dan kolaborasi antar daerah dalam menjalankan paradiplomasi. Platform ini dapat mencakup informasi mengenai potensi daerah, program kerja, berita terkait paradiplomasi, dan konten relevan lainnya.
Tanpa strategi yang efektif, pemerintah daerah bisa terjebak dalam “me-tooism”. Atau kecenderungan untuk meniru keberhasilan pemerintah lain tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan potensi lokal. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu beradaptasi dengan semakin tingginya kebutuhan pemerintah daerah untuk menjalin kerja sama internasional guna meningkatkan perekonomian dan ketahanan di tingkat daerah.