Pemerintah Cina, yang selama ini dikenal cenderung tertutup dan sering dianggap tidak proaktif dalam komunikasi digital, akhirnya membuat akun Twitter pertama mereka pada Oktober tahun lalu. Langkah ini kemudian diikuti dengan aktivitas yang lebih intensif di platform Twitter sejak Desember.
Awalnya, pemerintah Cina mengandalkan diplomatnya dalam diplomasi digital; hingga akhir 2018, tercatat hanya tiga diplomat Cina yang aktif di media sosial Twitter, bersama 14 akun lain dari kedutaan besar dan konsulat Cina. Namun, ketika pandemi COVID-19 melanda, pemerintah Cina memanfaatkan Twitter secara aktif untuk memperkuat kepentingan nasional, membentuk citra positif, dan menanggapi tuduhan terkait asal usul virus COVID-19. Langkah ini memperlihatkan pentingnya strategi diplomasi digital Cina dalam era komunikasi modern.
Sejak akhir Januari hingga pertengahan April, akun @MFA_China mempublikasikan lebih dari 200 cuitan terkait isu pandemi COVID-19. Aktivitas ini menunjukkan bagaimana diplomasi digital dapat berkontribusi nyata dalam manajemen krisis melalui penyebaran informasi, baik kepada publik maupun dalam mendukung komunikasi antarnegara di masa pandemi, ketika pertemuan diplomasi tradisional menjadi sulit dilakukan.
Dengan adanya diplomasi digital, Cina menyoroti arena politik internasional yang lebih seimbang dalam era globalisasi, di mana setiap negara memiliki saluran untuk menyampaikan argumen tanpa sekat diplomatik tradisional. Twiplomacy atau diplomasi di Twitter kini menjadi alat penting dalam menyebarkan narasi dan informasi internasional secara langsung.
Twiplomacy Cina dalam Krisis Pandemi COVID-19
Sejak pandemi COVID-19, akun Twitter @MFA_China menarik perhatian besar dari publik global, mencatat peningkatan pengikut yang signifikan, dari 21 ribu pada Januari 2020 menjadi 171 ribu pada akhir Juni. Akun Twitter ini aktif memperbarui informasi terkait diplomasi Cina atau *Twiplomacy*, mulai dari kebijakan politik, sosial, budaya, hingga pandemi. Beragam cuitan pemerintah Cina menyampaikan pandangan mengenai solidaritas global, dukungan Cina, dan upaya kolektif dalam menghadapi pandemi, sehingga menunjukkan citra Cina sebagai negara yang bertanggung jawab di tengah krisis global.
Dalam merespon tuduhan dari Amerika Serikat terkait keterbukaan informasi tentang COVID-19, pemerintah Cina melalui Twitter berusaha tampil rasional dan terbuka. Cuitan-cuitan mereka menekankan bahwa tuduhan dari pihak Amerika Serikat tidak berdasar, sementara Cina berkomitmen menjadi negara yang transparan dan mau berbagi informasi seputar pandemi COVID-19.
Munculnya Diplomasi Digital di Media Sosial
Jumlah pengguna internet dan media sosial terus meningkat di seluruh dunia. Laporan terbaru dari We Are Social mencatat lebih dari 4,5 miliar pengguna internet dan 3,8 miliar pengguna media sosial pada awal tahun ini, menciptakan ruang bagi diplomasi digital sebagai bentuk komunikasi internasional baru.
Diplomasi digital melalui Twitter kini menjadi praktik umum bagi hampir semua negara anggota PBB, dan Twitter adalah platform pilihan utama. Indonesia, misalnya, memanfaatkan Twitter sebagai media diplomasi melalui akun resmi Kementerian Luar Negeri @Kemlu_RI, yang menempatkan diplomasi digital sebagai bagian penting dari sasaran strategis diplomasi nasional. Pemerintah Jerman juga mengandalkan Twitter untuk menyampaikan informasi tentang penanganan pandemi, seperti menerima pasien dari Italia sebagai bentuk solidaritas Uni Eropa.
Meski negara-negara lain juga menggunakan Twitter, intensitas aktivitas Twitter Cina selama pandemi COVID-19 menjadi contoh konkret diplomasi digital yang efektif.
Era Baru dalam Diplomasi di Media Sosial
Media sosial kini dianggap sebagai instrumen penting yang memungkinkan diplomat dan negara-negara untuk menjangkau audiens luas dengan cepat. Dengan media sosial, diplomat dapat melakukan komunikasi langsung dan berinteraksi dengan publik. Untuk mendukung kepentingan luar negeri, baik terkait ekonomi, politik, budaya, maupun pembentukan citra negara.
Dengan menggunakan Twitter sebagai platform diplomasi, diplomat memiliki peluang untuk menyampaikan pesan terbuka kepada siapa saja, termasuk pihak yang memiliki pandangan berseberangan. Hal-hal yang dulunya lebih sering dibahas secara tertutup, kini bisa diakses secara terbuka di media sosial. Hal ini memberi kesempatan bagi negara untuk menyampaikan klarifikasi dan narasi yang diinginkan, terutama dalam melawan informasi yang dianggap tidak akurat.
Pada 8 Mei 2020, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina mencuit tentang perlunya standar. Yaitu standar yang sama untuk tuntutan transparansi terkait wabah terhadap Amerika Serikat. Cuitan ini disukai lebih dari 3 ribu kali dan di-retweet hingga 769 kali, yang menunjukkan minat publik dalam partisipasi dalam diplomasi digital.
Diplomasi digital memperluas keterlibatan publik dalam politik internasional dan mendorong pemerintah untuk lebih bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi yang tepat. Dengan semakin banyaknya perhatian publik, aktivitas diplomasi digital menjadi lebih transparan dan terbuka.
Kesimpulan: Diplomasi Digital Membuka Peluang di Era Modern
Pandemi COVID-19 menekankan pentingnya diplomasi digital dalam manajemen krisis. Dan mereka yang mampu beradaptasi dengan teknologi ini diuntungkan dalam komunikasi internasional. Twiplomacy yang dilakukan Cina adalah contoh bagaimana negara memanfaatkan platform media sosial. Dengan tujuan untuk mempengaruhi opini global dan memperkuat persepsi positif secara langsung. Di era digital, diplomasi digital terbuka bagi setiap negara. Tidak hanya kekuatan tradisional, namun juga negara-negara yang mampu mengoptimalkan media digital.
Diplomasi digital juga mendorong keterlibatan masyarakat dalam hubungan internasional. Peran masyarakat dalam diplomasi internasional sangat penting, terutama dalam hal kolaborasi dengan pemerintah untuk menyampaikan informasi yang efektif dan efisien. Dengan media sosial sebagai ruang diplomasi, partisipasi publik semakin nyata dalam mendukung hubungan antarnegara yang lebih dinamis dan terbuka.