Pada hari Kamis, 24 Agustus 2023, Presiden Joko “Jokowi” Widodo bertolak ke Johannesburg, Afrika Selatan, dalam rangka menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-15 sebagai negara undangan.
KTT BRICS Ke-15
Ada 67 Negara yang diundang dalam KTT BRICS ke-15 ini. Sebelumnya, santer bahwa ada 40 negara yang tertarik untuk bergabung dalam BRICS, termasuk Indonesia.
Indonesia memang menjadi negara yang tengah menjadi sorotan internasional, mengingat peran-peran presidensinya dalam G20 2022 dan ASEAN 2023. Beberapa pakar juga sudah menjabarkan segala keuntungan yang akan didapat Indonesia jika bergabung dengan BRICS. Sebaliknya, BRICS juga akan diuntungkan karena posisi Indonesia sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Kenyataannya, Jokowi pada akhirnya mengumumkan bahwa Indonesia belum memutuskan untuk bergabung dengan BRICS. Alasannya, pemerintah perlu mempertimbangkan dan memperhitungkan berbagai hal. BRICS kemudian mengumumkan enam anggota barunya, yakni Argentina, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, yang keanggotaannya mulai berlaku per 1 Januari 2024.
Ini adalah keputusan yang paling tepat, bijak, dan masuk akal bagi Indonesia. Sebagai negara yang cenderung memilih bersikap netral di tengah polarisasi politik, terutama persaingan antarkekuatan besar, bergabung dengan BRICS dapat menjadi bumerang bagi Indonesia.
Meski demikian, Indonesia sepenuhnya sadar bahwa BRICS tetaplah mitra yang amat penting.
Menghindari ‘jebakan’ kepentingan anti-Barat
Dalam sejarahnya, BRICS yang anggotanya terdiri dari negara ekonomi berkembang, yaitu Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, bertujuan mempromosikan kerja sama Selatan-Selatan atau antara negara berkembang. Kemitraan mencakup berbagai bidang seperti ekonomi, perdagangan, politik, dan pembangunan sosial.
BRICS pertama kali diinisiasi oleh Rusia pada 2009 untuk menciptakan kekuatan keseimbangan terhadap kelompok Group of 7 (G7). G7 ini beranggotakan Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat (AS).
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan geopolitik global, baik BRICS dan G7 tidak bisa menghindari perluasan agenda mereka pada isu-isu politik dan keamanan global.
Selama KTT BRICS, misalnya, para pemimpin kelompok ini mengeluarkan pernyataan bersama yang mengekspresikan keprihatinan mereka tentang perang saat ini, menyerukan gencatan senjata segera.
Walau begitu, Afrika Selatan, Cina, dan India juga tidak menyerukan kecaman terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Meskipun Presiden Rusia Vladimir Putin tidak hadir dalam KTT karena adanya surat perintah penangkapan dari Mahkamah Peradilan Internasional (ICC).
Brasil Tolak Gabung Barat
Sementara itu, Brasil tegas menolak bergabung dengan negara-negara Barat untuk mengirimkan senjata ke Ukraina atau menjatuhkan sanksi terhadap Moskow.
Ini bertolak belakang dengan hasil G7 Summit bulan Maret lalu, yang cenderung mengonsolidasikan kekuatan untuk mendukung Ukraina dan menjatuhkan sanksi yang lebih berat pada Rusia.
Artinya, secara tidak langsung BRICS memberikan panggung bagi anggotanya untuk melawan hegemoni Barat yang dipimpin AS. Sentimen anti-Barat dalam BRICS ini bertolak belakang dengan prinsip-prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif Indonesia.
Jangan lupa bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pionir Gerakan Non-Blok dalam hubungan internasional. Indonesia selalu menekankan prinsip untuk tidak ikut campur dalam persaingan antarnegara besar yang tengah saling merebut pengaruh. Sebaliknya, Indonesia memilih fokus perdamaian dan pembangunan global.
Salah satu contoh realisasi kebijakan luar negeri “bebas aktif” Indonesia misalnya adalah memprakarsai ASEAN. Dan membantu usaha perdamaian di Kamboja dan Vietnam. Serta memediasi perjanjian perdamaian antara pemerintah Filipina dan Moro National Liberation Front (MNLF).
Indonesia, yang bahkan dalam Presidensi G20 2022 lalu dipercaya menjadi mediator antara Rusia dan Ukraina, hanya akan terperangkap dalam situasi rumit yang tidak perlu jika bergabung dengan BRICS. Ini juga akan membuat Indonesia sulit mengambil sikap politik global, misalnya ketika merespons ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina atau perang dagang AS-Cina.
Jika Indonesia bergabung dengan BRICS, kelompok Barat akan melihatnya sebagai sinyal keberpihakan terhadap Rusia dan Cina. Hal ini bisa sangat memengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dengan AS, Cina, maupun Rusia, yang selama ini baik-baik saja.
Kepentingan pribadi anggota lama
Jika diamati dari kacamata politik internasional, penambahan keanggotaan BRICS tampak sebagai upaya untuk memperkuat aliansi itu, terlepas dari seberapa signifikan keuntungannya.
Cina, sebagai negara ekonomi terbesar dalam BRICS, tampaknya mendukung penambahan anggota demi memperkuat pengaruhnya sendiri di tatanan global.
Rusia yang terisolasi dan tengah mendapatkan sanksi dari Barat juga membutuhkan sekutu baru akibat dampak dari perang yang berlarut-larut di Ukraina.
Sementara itu, Afrika Selatan, negara dengan ekonomi terkecil dalam kelompok ini, mengundang negara-negara Afrika untuk bergabung BRICS guna memperkuat kawasan Afrika.
BRICS tetap penting bagi Indonesia
Meski belum bergabung dengan BRICS, Indonesia sepenuhnya menyadari betapa pentingnya BRICS sebagai mitra diplomasi, terutama dalam hal ekonomi.
Kehadiran Presiden Jokowi bersama Menteri Retno Marsudi dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan di Johannesburg, tidak lepas dari kepentingan bilateral Indonesia dan kepentingan regional sebagai Ketua ASEAN 2023.
Dengan total nilai ekonomi mencapai 33,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) global dan mewakili 45% dari total populasi dunia, BRICS jelas merupakan mitra yang strategis bagi ASEAN.
Bagi negara-negara berkembang seperti di Asia Tenggara, BRICS dapat membantu pertukaran teknologi, pengetahuan, dan perdagangan yang saling menguntungkan satu sama lain.
Negara-negara BRICS juga terus mempromosikan de-dolarisasi untuk menghapus ketergantungan terhadap dolar AS sebagai mata uang internasional. Mereka mempromosikan pencapaian Bank Pembangunan Baru BRICS dalam mendanai berbagai proyek, memosisikannya sebagai bagian dari rencana pembangunan ekonomi blok tersebut.
Langkah tersebut pada dasarnya sejalan dengan Indonesia yang juga sedang menggiatkan penggunaan rupiah sebagai upaya mengurangi ketergantungan meminimalisasi penurunan nilai tukar terhadap dolar.
Dalam hal ini, Bank Pembangunan Baru BRICS dapat membantu menguatkan mata uang rupiah sebagai alat transaksi internasional.
Pada akhirnya, meski BRICS mulai menjadi lebih pragmatis dan fokus pada agenda pembangunan dan perdagangan antara negara-negara berkembang. Kemungkinan untuk menjadi proksi pertarungan kekuasaan negara-negara besar akan tetap ada.
Oleh karena itu, Indonesia sudah mengambil keputusan bijak dengan tidak terburu-buru bergabung dengan BRICS, setidaknya dalam waktu dekat. Indonesia tidak boleh mempertaruhkan hubungan diplomasi baiknya dengan pihak manapun.
Patut diingat bahwa Indonesia sebaiknya fokus memperluas kerja sama, dan investasi serta pengembangan teknologi. Ini semua perlu dilakukan dengan semua pihak, baik kubu Global North maupun Global South.